Posted by : heri rahman
Sabtu, 16 Juni 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keberadaan
sistem perbankan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia kini telah
mendapatkan payung hukum tertinggi yang akan melindungi kiprah dan sepak
terjang industri perbankan syariah di tanah air. Hal ini dengan diloloskannya
Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi undang-undang yakni
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan pada
tanggal 16 Juli 2008.
Sebelumnya
pengaturan mengenai perbankan syariah dituangkan dalam Undang-undang No. 7
tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.
10 tahun 1998. Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang
mengakomodasi karakteristik operasional perbankan syariah, dimana, di sisi lain
pertumbuhan dan volume usaha bank syariah berkembang cukup pesat.
Pengawasan
terhadap kegiatan usaha bank baik bank konvensional maupun bank syariah
dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini didasarkan pada Pasal 29 ayat 1
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan yang berbunyi : ”Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh
Bank Indonesia”. Berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan itu Bank Indonesia
mempunyai tugas yang didasarkan pada pasal 8 Undang-undang No. 3 Tahun 2004
perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
berbunyi : ”Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, Bank
Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut : a) menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, c)
mengatur dan mengawasi bank”. Dalam pasal 50 Undang-undang No. 21 Tahun 2008
sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah disebutkan bahwa
“Pembinaan dan pengawasan bank syariah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia”.
Pada
prinsipnya, pengaturan penyatuan sistem tata perbankan bagi sebuah negara
dilakukan oleh bank sentral, di Indonesia dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank
Indonesia. Bank Indonesia diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang
berkaitan dengan pengawasan jasa sistem pembayaran agar masyarakat luas dapat
memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat, dan aman. Bank
Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung (on-site supervision) dan
pengawasan tidak langsung (off-site supervision) terhadap bank-bank
syariah di Indonesia, baik bank umum syariah maupun bank konvensional yang buka
cabang khusus syariah atau dikenal dengan Unit Usaha Syariah.
Secara
umum, peranan bank sentral sangat penting dan strategis dalam upaya menciptakan
sistem perbankan yang sehat dan efisien. Perlu diwujudkannya sistem perbankan
yang sehat itu, karena dunia perbankan adalah salah satu pilar utama dalam
pembangunan ekonomi suatu negara. Sedangkan secara khusus, bank sentral mempunyai
peranan yang penting dalam mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian yang
diderita oleh bank itu sendiri, masyarakat penyimpan dana, dan merugikan serta
membahayakan kehidupan perekonomian.
Bank
Indonesia yang memegang otoritas pembinaan dan pengawasan bank dibekali dengan
kewenangan yang berkaitan dengan perizinan, mengeluarkan ketentuan-ketentuan
yang memberi landasan kerja yang sehat bagi bank serta mengawasi dan memberikan
pembinaan kepada bank dalam menjalankan segala usaha bank tersebut dengan
tujuan mendorong terwujudnya sistem perbankan yang sehat.
Kegiatan
pengawasan bank tersebut sebagai pelaksanaan monetary supervision dimaksudkan
untuk memonitor dan mengetahui lembaga keuangan bank dalam hal ini mematuhi
ketentuan aturan yang ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas
moneter dan menjalankan usaha perbankannya.
Bank
sentral sebagai pembinaan dan pengawasan bank mengarahkan lembaga keuangan bank
yang ada agar dalam kegiatan usahanya selalu berhati-hati sehingga bank
tersebut terhindar dari praktek perbankan yang tidak sehat.
Pada
hakikatnya pengaturan dan pengawasan bank dimaksudkan untuk meningkatkan
keyakinan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan bank, bahwa
bank-bank dari finansial tergolong sehat, bahwa bank dikelola dengan baik dan
profesional, serta di dalam bank tidak terkandung segi-segi yang merupakan
ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di bank.
Dengan
perkataan lain, tujuan umum dari pengaturan dan pengawasan bank adalah menciptakan
sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi tiga aspek, yaitu perbankan yang
dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar,
dalam arti di satu pihak memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik
dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia.
Bank
sebagai penghimpun dan penyalur dana publik harus memiliki tingkat kepercayaan
yang tinggi di mata masyarakat dan dunia usaha. Reputasi ini merupakan
keniscayaan, dan untuk mendapatkannya bukanlah perkara yang mudah. Ia harus
diusahakan dengan kerja keras dan dengan disiplin yang tidak mengenal lelah.
Namun, ketika kepercayaan telah diraih, maka usaha untuk mempertahankannya juga
bukan pekerjaan mudah. Bisa saja suatu kasus kecil dapat menciderai tingkat
kepercayaan itu dan pada gilirannya akan berubah menjadi malapetaka.
Oleh karena itu, setiap pelaku perbankan
diharapkan tetap menjaga kepercayaan masyarakat tersebut. Kepercayaan
masyarakat terhadap dunia perbankan akan terjaga apabila sektor perbankan itu
sendiri diselenggarakan dan dikelola dengan prinsip kehati-hatian sehingga
selalu terpelihara kondisi kesehatannya.
Karena
itu, industri perbankan pada hakikatnya adalah industri yang paling banyak
diatur dan diawasi (highly regulated and supervised industry). Hal ini
tentu saja dapat diterima karena dana yang dihimpun dari masyarakat dan
dikembangkan lewat berbagai bentuk pembiayaan dan investasi harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada si empunya dalam bentuk return yang
positif. Jika hal itu tidak dilakukan maka korbannya bukan hanya mereka yang
dananya akan menjadi hilang, melainkan juga bencana ekonomi akan menimpa dan
menghancurkan negara yang mengalami krisis perbankan ini. Malapetaka inilah
yang sesungguhnya terjadi di negara kita. Pada awalnya, krisis itu berasal dari
sektor perbankan dan belasan bank yang akhirnya dilikuidasi sebagai korbannya.
Lama-kelamaan krisis itu membesar dan meluas ke berbagai sektor dan berubah
menjadi krisis ekonomi yang bersifat multidimensional dengan skala yang jauh
lebih masif. Krisis itu nyaris meluluhlantakkan negeri Indonesia bahkan
mengubah petanya sekaligus.
Di samping pentingnya menjaga tingkat
kepercayaan yang tinggi di mata masyarakat, perlu adanya transparansi akan
produk-produk syariah agar bank syariah tidak mendapat predikat bank syariah
yang tidak benar-benar syariah. Bank syariah harus bisa menjelaskan secara
rinci produk-produk yang ditawarkannya dengan menjelaskan dasar kehalalannya
dan bagaimana bank mengelola produk-produk syariahnya. Hal ini membawa kita pada satu kenyataan akan
pentingnya pengaturan (regulation) dan pengawasan (supervision)
bagi lembaga keuangan syariah.
Bank
Indonesia sebagai bank sentral mempunyai peran dalam menentukan dan memberikan
arah perkembangan perbankan serta dapat melindungi masyarakat, maka Bank
Indonesia mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan
pengawasan terhadap seluruh kegiatan perbankan.
Sebagai
pengawas dan pembina bank, Bank Indonesia bertindak sebagai seorang bapak
kepada anaknya. Bila seorang anak keliru dalam melakukan suatu tindakan maka
seorang bapak yang baik akan berusaha memberitahukan kepada anaknya perihal
kekeliruannya itu bahkan lebih dari itu bapak tersebut akan mengusahakan supaya
anaknya tidak keliru dalam mengambil suatu tindakan. Demikian juga halnya Bank
Indonesia dalam menjalankan tugas pengawasan perbankan syariah di Indonesia.
KEPUSTAKAAN